Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pungutan pajak pada kantin, kafetaria, dan warung makan yang beromzet 200 juta per tahun atau sekitar 550.000 per hari dinilai bermuatan politis dan tidak bisa dipisahkan dari hajatan pilkada.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), William Yani, mengatakan keputusan Gubernur DKI Jakarta tersebut terkesan mencari simpati dari konsumen warung yang dominan berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah. Kepentingan politis diduga dilakukan Gubernur untuk meraup suara dalam Pilkada 2012.
"Kalau mau ditunda, ya semuanya, jangan hanya pajak untuk warung tegal. Perda kan mengatur secara bersama tentang aturan tersebut, bukan terpisah," ujar William, di Jakarta, (7/3).
Ia mengimbau Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, melakukan penundaan untuk seluruh kategori pungutan pajak rumah makan tanpa kecuali. Sifat kebijakan yang mengecualikan satu wajib pajak, warung tegal saja, hanya akan menuai persoalan baru.
DKI Jakarta akan mendulang protes keras dari pengusaha rumah makan yang tidak masuk kategori warung, namun omzetnya tidak terlalu besar. "Jangan karena jumlah warteg banyak dan jumlah konsumennya banyak, mereka mendapatkan pengecualian. Itu kebijakan janggal dan tidak adil," jelasnya.
William berharap agar aturan tersebut ditinjau ulang. Jadi, jangan ditangguhkan hanya dalam rangka pilkada. Ia tetap mengusulkan perubahan wajib pajak yang dapat dikenakan pajak seharusnya memiliki omzet minimal 400 juta setahun, bukan 200 juta.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menjelaskan penundaan pelaksanaan pemungutan warung tegal untuk memenuhi komitmen meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil.
Kebijakan penundaan pemungutan pajak warteg dinyatakan resmi dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur (Ingub) No. 16 Tahun 2012 tentang Penundaan Pemungutan Pajak Restoran Jenis Usaha Warung, Kantin, dan Kafetaria. "Pemungutan pajak tersebut ditunda sejak Ingub dikeluarkan per 24 Februari 2012 dengan Ingub DKI No.16/2012," ujarnya.
Dua Kali
Penundaan ini merupakan yang kedua kalinya diputuskan Gubernur DKI Jakarta. Pertama kali dilakukan pada 2011, yaitu penundaan seluruh aturan dalam Perda No. 11 tahun 2011 sebagai pengganti Perda No. 8 tahun 2003 tentang Pajak Restoran, kemudian Perda No.11/2011 diberlakukan lagi pada awal Januari 2012 dengan alasan telah cukup dilakukan sosialisasi kepada pemilik usaha restoran.
Perda ini juga berlaku bagi warteg, kantin, dan kafetaria yang memiliki omzet minimal 200 juta selama satu tahun. Gubernur menegaskan kebijakan penundaan pemungutan pajak khusus warteg, kantin, dan kafetaria dengan alasan perlunya kajian lebih lanjut.
Alasan utama dari penundaan itu ialah masih adanya pihak yang mengeluhkan batas minimal omzet wajib pajak. "Omzet itu masih dikaji lebih cermat karena sampai saat ini masih banyak yang mengeluhkan kebijakan tersebut," tegasnya.
Gubernur mengakui kebijakan penundaan itu belum ditentukan masa waktu berakhirnya. Ia menyerahkan itu kepada tim internal yang sedang mengkaji batas omzet minimal wajib pajak.
Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI, Arief Susilo, mengatakan Ingub DKI No. 16/2012 telah diterima DPP DKI. Kepala Dinas Pelayanan Pajak langsung mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.9/SE/2012 tanggal 2 Maret 2012 kepada seluruh pejabat internal pemungutan pajak DPP DKI untuk tidak melakukan pemungutan pajak restoran kepada jenis usaha warteg, kantin, dan kafetaria.
"Penundaan pemungutan pajak restoran hanya kepada restoran jenis usaha warung, kantin, dan kafetaria yang dikunjungi oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan hanya memenuhi kebutuhan dasar rakyat kecil, sedangkan restoran jenis usaha diluar itu tetap diberlakukan pemungutan pajak restoran," jelasnya.
Ia menambahkan saat ini Dinas Pajak Provinsi DKI telah melakukan sosialisasi internal kepada seluruh petugas pemungutan pajak di jajaran DPP DKI untuk tidak melakukan pemungutan pajak restoran kepada ketiga jenis usaha restoran tersebut. frn/P-5